Kata Pengantar
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberikan segala nikmat-Nya kepada kita semua sehingga kita mampu menjalani kehidupan dengan baik dan sejahtera.
Shalawat dan salam mudah-mudahan selalu dicurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. Yang telah membawa umatnya dari zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Alhamdulillah, atas karunia dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah al-Lahja:t . Besar harapan semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi para pembaca, khususnya mahasiswa yang sedang mempelajari bahasa Arab. Tentunya, makalah ini pun tak terlepas dari segala kekurangan, oleh karena itu penulis menerima setiap saran, masukan dan tanggapan demi kesempurnaan makalah ini.
Ciputat, 04 April 2015
Penulis
Bahasa Arab telah melalui sejarah formatif dan perkembangan yang panjang. Masyarakat Arab pra Islam terdiri dari beberapa kabilah dan memiliki sejumlah ragam dialek bahasa (al-lahaja:t al-Arabiyah al-qadi:mah) yang berbeda-beda akibat perbedaan dan kondisi-kondisi khusus yang ada di masing-masing wilayah (Wafi, 1983:119). Berbagai dialek itu secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-Arabiyat al-bai:dah (bahasa Arab yang telah punah) dan al-Arabiyat al-ba:qiyah (bahasa Arab yang masih lestari). Al-Arabiyat al-bai:dah mencakup dialek-dialek bahasa Arab bagian utara Jazirah Arab dan sebagian dialek selatan. Sedangkan alArabiyat al-ba:qiyah adalah dialek yang dipergunakan dalam qashidah (bahasa puisi) jaman jahiliah atau pra-Islam, bahasa yang dipergunakan di dalam Al-Qur'an, dan bahasa Arab yang dikenal sampai hari ini (Ya'kub, 1982:118). Sebagaimana kita maklumi, bahwa bahasa Arab Baqiyah adalah bahasa yang digunakan dalam bahasa tulisan, dan bahasa sastra yang sampai kepada kita melalui syair Jahiliyah, al-Qur’an dan al-Sunnah al- Nabawiyah, yang selnjutnya disebut dengan bahasa Arab fushah. Bahasa fushah tersebut bukanlah semata-mata hanya dialek Quraisy, tetapi merupakan perpaduan dari berbagai dialek bahasa Arab.
Bahasa fushah adalah bahasa baku, bahasa Al-Qur’an yang mulia. Apa sebenarnya arti dari Fushah itu? Fushah yaitu suatu kalimat yang maknanya jelas, lafadznya mudah, benar penulisannya (sama antara pelafadz-an dan penulisan) dan sesuai dengan kaidah bahasa arab (nahwu dan shorofnya) [1]. Bahasa fushah ini juga yang dipakai oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam dan para sahabat, dan bahasa yang sangat dianjurkan untuk kita pelajari saat ini, yang tidak akan pernah berubah hingga hari kiamat nanti, tetap terjaga sampai hari kiamat sebagaimana terjaganya Al-Qur’an.
Betapa butuhnya kita mempelajari bahasa arab yang fushah agar lisan kita lurus dan akal kita bertambah mirip dengan generasi awal umat ini. Kenapa dengan generasi awal? Karena merekalah yang dikabarkan Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam sebagai sebaik baik ummat ini
A. Pengertian Bahasa Fusha
Bahasa Arab Fusha dikenal dengan bahasa Arab baku atau standar dan banyak yang menyebutnya sebagai bahasa Arab klasik (classical Arabic), bahkan ada yang menyebutnya sebagai Bahasa Arab Standar Modern.
Menurut Emil Badi’ Ya’qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al Qur’an, situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga ungkapan-ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah).Secara umum bahasa ini dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik yang digunakan dalam bahasa al Qur’an dan Bahasa Arab Standar Modern yang digunakan dalam bahasa ilmiah.
Bahasa Arab adalah bahasa yang masuk dalam subrumpun Semit dari Hamito Semit atau Afro Asiatik. Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas penggunaannya di dunia ini dari pada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti bahasa Latin, bahasa Sansekerta, bahasa Ibrani dan bahasa lainnya. Mengapa?Karena bahasa ini merupakan bahasa al Qur’an yang dibaca oleh berjuta-juta kaum muslimin di penjuru alam ini, yang kemudian mereka gunakan dalam penulisan maupun pembahasan masalah-masalah yang masih terkait dengan agama.
B. Munculnya Bahasa Arab Fushah
Hubungan antara bahasa Arab fusha (baku) dengan dialek-dialek Arab masih belum jelas dalam pandangan para linguis Arab dan orientalis, karena perhatian para linguis Arab klasik hanya tertuju pada penelitian bahasa Arab fusha saja, yakni bahasa Al-Qur’an. Dan penelitian mereka sama sekali tidak pernah memberikan perhatian pada dialek-dialek kuno, serta tidak pernah berupaya untuk mengungkap riwayat-riwayat yang terputus tentang karakteristik dialek kuno itu, untuk keperluan menafsirkan qira’at al-Qur’an atau membahas suatu fenomena yang langka dalam puisi atau prosa Arab.
Oleh karena itu, hingga kini apa yang mereka katakan tentang hubungan antara bahasa Arab baku dengan dialek-dialek hanyalah berupa hipotesa atau dugaan semata, karena data dan informasi tentang persoalan ini amat sangat sedikit.
Seperti beberapa ahli yang memberikan asumsinya mengenai bahasa arab fushah, diantara:
Menurut Emil Badi’ Ya’qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al Qur’an, situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga ungkapan-ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah). Secara umum bahasa ini dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik yang digunakan dalam bahasa al Qur’an dan Bahasa Arab Standar Modern yang digunakan dalam bahasa ilmiah.
Noldeke berpendapat bahwa perbedaan antara dialek-dialek Arab yang tersebar di sebagian besar Jazirah Arab (Hijaz, Nejed, dan kawasan Eufrat) kecil sekali, dan bahasa fusha berasal dari berbagai dialek.
Guidi berpendapat bahwa bahasa Arab fusha berasal dari gabungan antara dialek-dialek Nejed dan daerah-daerah sekitarnya, bukan berasal dari satu dialek saja. Nallino mengatakan bahwa yang menghubungkan kemunculan bahasa Arab fusha dengan kerajaan Kindah (suku Arab besar klasik di mana penyair Imruul Qays berasal dari suku ini), dialek sehari-hari suku Ma’ad bersatu dan membentuk bahasa fusha.
Fischer dan Hartmann berpendapat, bahasa Arab fusha merupakan dialek khusus, tetapi Fischer tidak menjelaskan dialek apa. Follers mengemukakan teori yang mengatakan bahwa bahasa fusha berasal dari bahasa orang Arab pedalaman (Badwi) di kawasan Nejed dan Yamamah, akan tetapi para penyair kemudian banyak melakukan perubahan terhadap "bahasa orang Badwi" itu, sedangkan penduduk Jazirah Arab di luar kawasan Nejed dan Yamamah menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa ini, yang kemudian bahasa mereka ini menjadi cikal-bakal dari bahasa sehari-hari perkotaan Jazirah Arab.
Brokelmann dan Wetzstein berpendapat bahwa bahasa Arab fusha dalam bentuknya yang kita kenal sekarang adalah bahasa yang sama sekali belum pernah dipakai sebagai bahasa tutur suku-suku Arab. Akan tetapi Brokelmann dan Wetzstein tidak menjelaskan hubungan bahasa fusha ini dengan dialek.Landberg berpendapat bahwa bahasa fusha adalah bahasa yang dipakai pada suatu abad yang tidak dapat ditentukan, sedangkan pola-pola gramatikanya adalah kreasi para penyair.
Para ilmuwan Arab mengemukakan pendapat mereka yang sama sekali berbeda dengan semua pendapat di atas, bahwa bahasa Arab fusha adalah bahasa orang Badwi. Orang Badwi merupakan rujukan paling tepat dalam persoalan ini. Karena mereka tidak pernah salah dalam berbahasa fusha, dan lidah mereka menolak setiap akan melakukan kesalahan tuturan.
Bahasa Arab fusha yang kita kenal ada dua macam. Ada yang berjenis puisi dan ada yang berjenis prosa. Yang berjenis puisi kita kenal sebagai sastra Arab Jahiliah yang mencakup puisi, pidato, peribahasa, dan mutiara hikmah. Inilah yang kemudian disebut dengan bahasa Arab fusha. Sedangkan jenis kedua adalah tidak ditemukan dalam bentuk yang lengkap, tetapi hanya berupa kutipan-kutipan kecil dalam buku-buku bahasa, gramatika, dan sastra yang merupakan dialek-dialek suku-suku Arab.
Jika naskah-naskah bahasa Arab fusha (Al-Adab al-Jahili) kita teliti, jelas bahwa bahasa Arab fusha ini sangat teratur rapi, dan hampir tidak menampung dialek-dialek Arab yang lain. Bahasa ini adalah ciptaan para penyair dan sastrawan Arab Jahiliah. Bahasa inilah yang disebut dengan bahasa Arab baku, yang mengikat semua Jazirah Arab. Para penyair menggunakan bahasa ini untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan mereka. Para ahli pidato (orator) juga menggunakan bahasa ini untuk mempengaruhi para pendengarnya. Baik penyair atau ahli pidato itu berasal dari suku Quraisy atau dari suku Tamim, atau suku-suku Arab lainnya. Karena di antara karakteristik bahasa baku adalah berfungsi sebagai bahasa perantara di antara dialek-dialek Arab yang dipakai oleh berbagai suku Arab.
Bahasa Arab baku ini telah tumbuh dan berkembang sebelum Islam datang. Dalam kaitan ini, Dr. Ibrahim Anis mengatakan: “Hal yang paling kuno yang dapat kita bayangkan tentang Jazirah Arab adalah bahwa dahulu kala di kawasan ini terdapat banyak dialek lokal yang kemudian satu dengan yang lain terpisah dan menjadi dialek tersendiri denga karakteristik terseniri. Saat itu kesempatan terbuka untuk perkembangan suatu dialek yang kemudian mengalahkan dialek-dialek yang lain.” Ini berarti telah ada sejumlah faktor yang melatar belakangi para penutur dialek-dialek Arab untuk saling mendekatkan dan membaurkan dialek mereka satu sama lain. Situasi inilah yang kemudian melahirkan bahasa baku, yang dipakai oleh semua orang untuk berkomunikasi dan menjadi rujukan semua suku Arab dalam berinteraksi satu dengan yang lain.
C. Faktor-faktor Perkembangan Bahasa Arab Sebelum Islam
Setiap negara dan bangsa di dunia pasti memiliki bahasa baku, dan tentu ada latar belakang lahir, tumbuh, dan perkembangan bahasa baku ini di samping daalek-dialek. Apa faktor-faktor yang melatarbelakangi lahir, tumbuh, dan perkembangan bahasa baku ini di Jazirah Arab sebelum Islam? Di kawasan mana di Jazirah Arab bahasa Arab baku itu lahir, tumbuh, dan berkembang?
Bahasa Arab baku itu lahir, tumbuh, dan berkembang di Mekah, pusat dunia dengan faktor agama, politik, dan ekonomi yang melatarbelakanginya.
1. Faktor agama
Sejak berabad-abad sebelum Islam, Mekah merupakan tanah suci yang didatangi oleh berbagai suku Arab untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini memungkinkan berbagai suku Arab itu bertemu dan berkumpul di Mekah dan memungkinkan terjadinya interaksi antara para jamaah haji dengan penduduk asli Mekah dan sebaliknya. Dari interaksi ini muncullah apa yang disebut dengan bahasa baku untuk berkomunikasi antara yang satu dengan yang lain. Kemunculan bahasa baku tertentu –seperti dialek Quraisy- ini tidak direncanakan, tetapi muncul begitu saja secara tiba-tiba. Hal ini persis sama dengan kasus seorang yang berasal dari sebuah kampung di Mesir yang datang ke Kairo dan tinggal di situ selama beberapa hari misalnya, secara tiba-tiba dia akan terpengaruh dengan dialek kairo dan menggunakannya sebagai alat komunikasi.
Suku-suku Arab itu tidak datang ke Mekah hanya untuk menunaikan ibadah haji saja tetapi juga untuk berdagang di pusat-pusat bisnis atau mal di sekitar Mekah. Di sentra-sentra bisnis itu diadakan diskusi sastra oleh para ahli pidato dan sastrawan. Di situlah kemudian dapat tersaring karya-karya sastra pilihan. Seperti halnya di pusat bisnis terkenal, Ukaz. Di sini, setiap tahun, diadakan diskusi sastra selama dua bulan. Di pusat-pusat busnis inilah penduduk Mekah membaur dengan suku-suku yang berasal dari luar Mekah. Mereka berinteraksi satu sama lain. Dari sinilah cikal-bakal bahasa baku itu tumbuh di antara suku-suku Arab. Lalu, bahasa baku itu berkembang sejalan dengan kehadiran berbagai suku bersama para sastrawan ke pusat-pusat bisnis itu setiap tahun. Kemudian, suku-suku yang berdatangan dari berbagai daerah luar Mekah itu membawa bahasa baku itu ke daerah mereka masing-masing, sehingga bahasa baku itu tersebar ke seluruh penjuru Jazirah Arab. Namun demikian, penyebaran bahasa baku itu tidak terjadi untuk semua orang Arab, tetapi hanya menyebar di kalangan orang khusus saja, yakni sastrawan dan ahli pidato.
Perkembangan bahasa Arab baku ini semakin baik dan pesat setelah al-Qur’an sebagai wahyu turun kepada Nabi Muhammad menggunakan bahasa baku ini. Tetapi ini tidak berarti bahwa turunnya Al-Qur’an membuat bahasa Arab baku menjadi bahasa persatuan suku-suku Arab, karena bahasa Arab baku ini telah tumbuh dan berkembang serta menjadi bahasa persatuan sebelum Al-Qur’an turun. Dan inilah sebabnya Al-Qur’an turun menggunakan bahasa baku yang sudah menjadi bahasa persatuan suku-suku Arab ini, agar dapat dipahami oleh semua suku Arab.
2. Faktor Ekonomi
Penduduk Mekah dikenal sebagai penduduk pedagang atau pebisnis yang tidak pernah terus-menerus menetap di Merkah. Mereka berbisnis ke Yaman di musim dingin dan berbisnis ke Syam di musim panas. Kepergian mereka ke luar negeri untuk berbisnis, tentu tidak hanya membawa produk-produk bisnis, tetapi juga membawa bahasa baku yang telah mereka pakai di Mekah sebagai bahasa persatuan dan komunikasi antar bangsa. Dari sinilah kemudian bahasa baku itu juga menyebar di luar Mekah. Kegiatan bisnis membuat penduduk Mekah menjadi pengusaha-pengusaha besar yang sukses dan kaya raya. Dan sudah menjadi hukum alam bahwa bangsa yang mana pun di dunia yang memiliki kekuatan ekonomi pasti bangsa-bangsa lain cenderung meniru adat istiadat dan kebudayaan mereka yang termasuk di dalamnya adalah bahasa mereka.
3. Faktor Politik
Setelah penduduk Mekah memiliki dominasi keagamaan, karena Nabi Muhammad warga Mekah; setelah sejumlah wahyu juga turun di Merkah dan menggunakah bahasa baku yang secara dominan dipakai di Mekah dan sekitarnya; dan setelah mereka memiliki kekuatan ekonomi sebagai hasil dari bisnis mereka yang sukses, maka kekuasaan politik praktis mereka miliki. Kekuasaan politik ini dimiliki oleh Abdul Muttalib, Nabi Muhammad, dan para sahabat. Kekuasaan politik ini membuat bahasa Arab baku semakin tersebar melalui jalur penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Timur tengah, Asia Barat dan Afrika Utara. Sehingga semua penduduk di kawasan yang didatangi agama Islam itu kemudian berbahasa Arab dan menyebut negara mereka negara Arab.
D. Apakah Arab Fushah Berasal dari Dialek Quraisy?
Ternyata terdapat dua pendapat yang menjawab pertanyaan tersebut. Sebagian mengatakan ya, dengan alasan Bahasa Arab Fusha itu sering dicontohkan dengan Qur’an dan syair-syair Arab. Demikian juga teks-teks hadis menjadi contoh bahasa Arab Fusha karena diucapkan oleh Rasululah SAW yang berasal dari suku Quraisy. setelah diadakannya perlombaan sastra berupa syair-syair, dan yang baik ditempelkan di Ka’bah.Ini bisa dipahami sebagai awal mula “pemilihan bahasa” untuk dipakai bersama. Ternyata dialek yang diterima oleh suku-suku Arab, dengan berbagai sebab, adalah dialek dari suku Quraisy. Penerimaan dialek Quraisy untuk bangsa Arab itu merupakan lahirnya bahasa Fusha. Bahasa Arab yang dipergunakan dalam Quran berdialek Quraisy meskipun ada juga beberapa struktur dan juga kosa kata yang tidak berasal dari dialek Quraisy.
Ada sejumlah pandangan mengenai proses terbentuknya lingua franca antarberbagai kabilah yang memiliki berbagai dialek lokal itu: Pertama, pandangan bahwa di antara berbagai dialek kabilah itu, dialek Quraisy adalah yang paling fasih, dominan dan dipahami oleh berbagai kabilah di seluruh jazirah pada masa pra-Islam (Faris, 1963:52). Dialek Quraisy mengungguli dialek-dialek lain dan menjadi bahasa sastra lintas kabilah. Karena itu tidak mengherankan jika Al-Qur'an diturunkan menggunakan dialek Quraisy, dan Muhammad Saw yang diutus sebagai rasul juga berasal dari kabilah ini (Wafi, tt.:112). Kedua, pandangan bahwa dominasi dialek Quraisy terhadap dialek-dialek lain hanya terjadi di jaman pra-Islam, tetapi tidak demikian setelah datangnya Islam. Dominasi itu karena tempat tinggal kabilah Quraisy, Mekkah, menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji, kota dagang dan pusat kesatuan politik yang otonom terhadap kekuatan-kekuatan lain. Kekuasaan politik, ekonomi dan agama itu memperkokoh dialek Quraisy di hadapan dialek-dialek lain (Husain, 1952:133-136). Ketiga, pandangan yang tidak mengakui dialek Quraisy sebagai lingua franca atau bahasa bersama bagi seluruh kabilah Arab. Menurut Al-Rajihi, asumsi bahwa dialek Quraisy adalah lingua franca bagi seluruh kabilah Arab hanya untuk mengagungkan kabilah Muhammad Saw sebagai rasul. Sebagai bukti, masyarakat Hijaz, dan suku Quraisy adalah salah satunya, cenderung meringankan bacaan hamzah, sedangkan kabilah lain membacanya dengan jelas. Sementara itu, pembacaan hamzah secara jelas di dalam warisan puisi pra-Islam maupun dalam qira:at (macam-macam cara membaca) Al-Qur'an lebih banyak ditemui dibanding pembacaannya yang lemah atau ringan (AlRajihi, 1973:119-121).
Terlepas dari ketiga pandangan di atas, hasil kajian-kajian kebahasaan menunjukkan bahwa; (1) di jazirah Arab selain dialek-dialek lokal, juga ditemui sebuah bahasa bersama lintas kabilah yang digunakan dalam karyakarya para sastrawan, digunakan di pasar-pasar dan perayaan-perayaan mereka, (2) ketika Islam datang, Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa bersama itu agar dimengerti oleh seluruh kabilah, (3) di dalam bahasa AlQur'an ternyata didapati tidak hanya dialek Quraisy melainkan juga dialek kabilah-kabilah lain, seperti Hudzail, Tamim, Hamir, Jurhum, Midzhaj, Khatz'am, Qais `Aylan, Balharits bin Ka'b, Kindah, Lakhm, Judzam, Al-Aus, dan Al-Khazraj Thayyi'. Bahkan, ada yang mengatakan di dalam Al-Qur'an ditemukan lebih kurang lima puluh dialek, (4) dialek Quraisy adalah yang paling dominan di dalam Al-Qur'an berdasarkan kesepakatan para linguis, dan sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa jika terdapat perbedaan pendapat mengenai wahyu (ayat Al-Qur'an) yang hendak ditulis maka hendaknya ditulis dengan dialek Quraisy karena, menurut Rasul, Al-Qur'an diturunkan menggunakan bahasa ini (Ya'kub, 1982:124-126).
Sejak kedatangan Islam, kedudukan bahasa bersama (lingua franca) itu makin kokoh. Persepsi masyarakat mengenai ragam bahasa Arab pun mulai mengalami pergeseran. Jika sebelumnya mereka menganggap bahasa Arab Al-Qur'an dan bahasa lokal sebagai setara, berikutnya penghargaan dan perhatian lebih ditujukan kepada bahasa bersama yang nota bene digunakan Al-Qur'an. Sebagai bahasa agama, di samping keunggulan obyektif yang dimiliki, bahasa Arab Al-Qur'an dianggap lebih pantas untuk digunakan. Sejak saat itu, tampak antusiasme yang besar dari masyarakat untuk mendalami dan mengkaji bahasa Al-Qur'an, bahasa bersama yang dinisbahkan kepada suku Quraisy itu.
Di jaman pra-islam, masyarakat Arab mengenal stratifikasi kefasihan bahasa. Kabilah yang dianggap paling fasih di banding yang lain adalah Quraisy yang dikenal sebagai surat al-Arab (pusatnya masyarakat Arab). Kefasihan bahasa Quraisy ini terutama ditunjang oleh tempat tinggal mereka yang secara geografis berjauhan dengan negara-negara bangsa non-Arab dari segala penjuru. Di bawah kefasihan Quraisy adalah bahasa kabilah Tsaqif Hudzail, Khuza'ah, Bani Kinanah, Ghathfan, bani Asad dan Bani Tamim, menyusul kemudian kabilah Rabi'ah, lakhm, Judzam, Ghassan, Iyadh, Qadha'ah, dan Arab Yaman, yang bertetangga dekat dengan Persia, Romawi dan Habasyah (Al-Rafi'i, 1974:252-253).
Kefasihan berbahasa itu terus terpelihara hingga meluasnya ekspansi Islam ke luar jazirah dan masyarakat Arab mulai berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain. Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi sosial lainnya itu terjadi kesalingpengaruhan antarbahasa.
Arab./05.34/020415/http://perpustakaanstainmanado.blogspot.com/2011/01/asal-usul-bahasa-arab.html?m=1
boleh saya tanya kenapa bahasa arab fusha banyak digunakan
BalasHapus